Memakmurkan Masjid Sifat Terpuji yang Identik Dengan Iman Kepada Allah
MEMAKMURKAN MASJID SIFAT TERPUJI YANG IDENTIK DENGAN IMAN KEPADA ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allâh, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allâh)” [At-Taubah/9:18]
Ayat yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan memakmurkan masjid yang didirikan karena Allâh Azza wa Jalla dengan semua bentuk pemakmuran masjid. Perbuatan terpuji ini sekaligus menjadi bukti benarnya iman dalam hati seorang hamba.
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid itu sebagai orang-orang beriman adalah (persaksian yang) benar. Karena Allâh Azza wa Jalla mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini … Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaiksangkalah kepadanya.”[1]
Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang menyebutkan hal ini. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Mâjah (no. 802), Ahmad (3/68 dan 76) dan al-Hâkim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ، فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ
Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya. kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.
Namun tetapi hadits ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Darraj bin Sam’an Abus samh al-Mishri. Dia meriwayatkan hadits ini dari Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amr al-Mishri, dan riwayatnya dari Abul Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani.[2]
Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas.[3]
Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan di atas, tapi cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan tersebut. Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ … وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ
Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allâh dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya… (di antaranya) yaitu seorang hamba yang hatinya selalu terikat dengan masjid.[4]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Artinya, dia sangat mencintai masjid dan selalu berada disana untuk melaksanakan shalat berjamaah.”[5]
HAKIKAT MEMAKMURKAN MASJID
Makna memakmurkan masjid adalah selalu berada di sana untuk melaksanakan ibadah dalam rangka mencari keridhaan-Nya. Misalnya untuk shalat, berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk membangun masjid, menjaga dan memeliharanya.[6]
Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para Ulama Ahli tafsir ketika menafsirkan ayat di atas. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:
- Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla)
- Membangun masjid dan memperbaikinya.[7]
Jadi, hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.
Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil dengan sanad beliau ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allâh dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut di atas.[8]
Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun dihadiri oleh banyak orang sehingga masjid menjadi penuh dan ramai, itu tidak termasuk memakmurkan masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah[9] yang dilakukan di beberapa masjid kaum Muslimin. Apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla) dan hal-hal yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allâh hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allâh dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla).”[10]
Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum Muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.
Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa hadits shahih berikut. Diantaranya, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid.”[11]
Arti “berbangga-bangga dengan masjid” adalah membanggakan indahnya bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid lainnya.[12]
Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini diharamkan dalam Islam karena perbuatan ini dikaitkan dengan keadaan di akhir jaman sebelum terjadinya hari kiamat, yang waktu itu tersebar berbagai macam kerusakan dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih lainnya.[13]
Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan bangunan) masjid (secara berlebihan). Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “(Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi (tempat-tempat ibadah mereka).[14]
Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani dan ini dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Perbuatan ini juga bertentangan dengan petunjuk sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyu’an dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyu’ adalah ruh ibadah[15].
Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan masjid adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.
Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata, “Dalam hadits di atas terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan masjid adalah yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu di jaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tapi beliau Radhiyallahu anhu tidak merubah Masjid Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di jaman (kekhalifahan) ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu yang waktu itu harta lebih banyak, tapi beliau Radhiyallahu anhu hanya memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara berlebihan).[16]
BERCERMIN PADA MASJIDIL HARAM DAN MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sebaik-baik masjid yang ada di muka bumi ini adalah dua masjid yang berada di dua kota suci dan paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla yaitu Mekkah dan Madinah.
Masjidul haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang paling dirindukan oleh orang-orang yang beriman dan paling pantas untuk dimakmurkan dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan dalam Islam, seperti thawaf dan sa’i ketika melaksanakan ibadah haji atau ‘umrah di Masjidil haram, melaksanakan shalat di kedua masjid tersebut, dan ibadah-ibadah agung lainnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu (kali) shalat di masjid lain kecuali Masjidil haram.[17]
Dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ada tambahan:
وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ
Dan shalat di Masjidil haram seratus seribu (kali) lebih utama daripada shalat di masjid lain[18].
Bahkan kerinduan untuk mengunjungi dan memakmurkan dua masjid mulia ini merupakan bukti benarnya iman yang ada di hati seorang hamba.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا
Sesungguhnya iman akan selalu kembali (berkumpul) di kota Madinah sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya[19]
Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Agama Islam akan selalu kembali (berkumpul) di dua masjid (Masjidul haram dan Masjid Nabawi) sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya[20]
Khusus yang berhubungan dengan “memakmurkan masjid”, sebagian Ulama mengatakan bahwa ibadah ‘umrah secara bahasa asalnya diambil dari kata “memakmurkan Masjidil haram”[21]. ini menunjukkan bahwa masjid inilah yang paling pantas untuk selalu dikunjungi dan dimakmurkan dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam.
Dan memang pada kenyataannya, dari dulu sampai sekarang, kedua masjid inilah yang selalu menjadi teladan dalam ‘kemakmuran masjid’ karena banyaknya kegiatan-kegiatan ibadah agung yang dilaksanakan di dalamnya. Seperti maraknya majelis ilmu yang bermanfaat di beberapa tempat di dalam dua masjid tersebut, dengan nara sumber para Ulama yang terpercaya dalam ilmu mereka. Demikian pula halaqah-halaqah tempat para penghafal al-Qur’an maupun orang-orang yang belajar membacanya dengan benar, di hampir setiap sudut masjid. Belum lagi kegiatan ibadah seperti shalat-shalat sunnah, berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , membaca al-Qur’an hanya marak dilakukan di siang dan malam hari, dalam rangka mencari keutamaan yang berlipat ganda yang Allâh Azza wa Jalla khususkan bagi dua masjid mulia ini.
Khususnya di Masjidil haram, kegiatan ibadah thawaf dan sa’i yang bisa dikatakan tidak pernah terputus, baik ketika musim haji ataupun di waktu lain untuk ‘umrah. Bahkan kegiatan thawaf sunnah hanya terhenti ketika dikumandangkan iqamah untuk pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu.
Bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah ‘umrah dan mengunjungi dua masjdi tersebut di bulan Ramadhan, tentu akan selalu terkenang dengan sifat dermawan yang ditunjukkan di dua masjid tersebut, utamanya di Masjid Nabawi, berupa suguhan berbagai macam makanan lezat untuk berbuka puasa yang memenuhi seluruh masjid dari depan sampai belakang, mulai dari kurma, air zam-zam, roti, yogurt, Haisah[22] dan lain-lain. Khusus untuk di halaman Masjid, makanan berupa nasi ‘Arab denga lauk ayam bakar, daging kambing dan lain-lain.
Lebih dari itu, para penyedia makanan untuk berbuka puasa tersebut menugaskan beberapa orang, biasanya anak-anak kecil, untuk memanggil dan membujuk orang-orang yang berada di masjid tersebut atau orang-orang yang lewat untuk bersedia berbuka puasa di tempat yang mereka sediakan.
SubhanAllâh! Mereka ini, benar-benar ingin mengamalkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Barangsiapa memberi makan orang lain untuk berbuka puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun[23]
Dan masih banyak kegiatan-kegiatan ibadah agung lain yang marak terlihat di dua masjid mulia ini dan tentu tidak bisa dipaparkan semua.
MASJID YANG TIDAK BOLEH DIMAKMURKAN BAHKAN WAJIB DIJAUHI DAN DIHANCURKAN
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾ لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh bersumpah: “Kami tidak meng-hendaki selain kebaikan”, dan Allâh menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pen-dusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya!” [At-Taubah/9:107-108]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keberadaan masjid-masjid yang didirikan untuk tujuan yang buruk dan bukan untuk mencari keridhaan Allâh Azza wa Jalla . Inilah yang disebut sebagai Masjid dhirar.
Maka Allâh Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh umat Islam untuk shalat di masjid seperti itu selama-lamanya.[24]
Inilah masjid yang tidak boleh dikunjungi dan dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan[25], karena didirikan untuk tujuan yang buruk, seperti memecah belah kaum Muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya.[26]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Termasuk dalam kandungan (ayat) di atas adalah orang yang mendirikan bangunan yang menyerupai masjid-masjid kaum Muslimin, (tapi) bukan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariatkan (dalam Islam), seperti kuburan-kuburan yang dikeramatkan dan lain-lain. Terlebih lagi jika di dalamnya terdapat keburukan, kekafiran, (upaya) memecah belah kaum Mukminin, tempat yang disediakan untuk orang-orang munafik dan ahli bid’ah yang durhaka kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan hal-hal yang mendukungnya. Maka bangunan (masjid) ini serupa dengan Masjid dhirar[27].
PENUTUP
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia k menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu memakmurkan masjid-masjid Allâh Azza wa Jalla dan meraih kesempurnaan iman dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Kitab Tafsir al-Qurthubi (8/83).
[2] Dalam kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 201
[3] Lihat kitab Tamâmul Minnah, hlm. 291-292
[4] HSR. Al-Bukhâri, no. 1357 dan Muslim, no. 1031
[5] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim, 7/121
[6] Lihat kitab Aisarut Tafâsîr, 2/66
[7] Kitab Zâdul Masîr, 3/408
[8] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 2/449
[9] Yaitu semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[10] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 1/216
[11] HR Ahmad, 3/134; Abu Dawud, no. 449; Ibnu Khuzaimah, 2/282; Ibnu Hibban, 4/493 dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani. Lihat, Shahîhul Jâmi’, no. 7421
[12] Lihat, Aunul Ma’bûd, 2/84 dan Taudhîhul Ahkâm, 2/137
[13] Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdullah al-Bassam dalam kitab Taudhîhul Ahkâm, 2/138
[14] HR Abu Dawud, no. 448 dan Ibnu Hibban, 4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani. Lihat, Shahîhul Jâmi’, no. 5550
[15] Lihat kitab Taudhîhul Ahkâm, 2/139-140
[16] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fathul Bâri, 1/540
[17] HSR. Al-Bukhâri, 1/398 dan Muslim, no. 1394
[18] HR Ahmad, 3/343 dan Ibnu Mâjah, no. 1406. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[19] HSR. Al-Bukhari, 2/663 dan Muslim , no. 147
[20] HSR. Muslim, no. 146
[21] Lihat kitab Fathul Bâri, 3/597
[22] Makanan khas ‘Arab yang terbuat dari campuran dan adonan kurma kering, tepung, keju dan minyak samin (lihat kitab Aunul Ma’bûd 13/260
[23] HR. Ibnu Majah, no. 227. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam al-Bushiri dan Syaikh al-Albani.
[24] Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/510
[25] Lihat kitab Majmu’ al- Fatâwâ, 27/140 dan kitab Zâdul Ma’âd, 3/480
[26] Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, hlm. 351
[27] Kitab Iqtidhâ-ush Shirâthil Mustaqîm, 1/431
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6395-memakmurkan-masjid-sifat-terpuji-yang-identik-dengan-iman-kepada-allah.html